Minggu, 04 Oktober 2015

Segenggam Mimpi Seluas Kenyataan (Part 2)




“Apa kamu sehat?
Ya saya sehat.
Apa kamu kuat?
Ya saya kuat.
Apa kamu bahagia?
Tidak. Saya tidak bahagia. Kehidupan terlalu keras mendidik saya.
Hidup ini terasa sangat berat untuk saya jalani. Saya ingin bahagia. Tapi dunia ini terlalu sempit bagi saya untuk mencari kebahagiaan. Saya mengharapkan kebahagiaan kekal yang Allah janjikan. Disuatu tempat dimana tidak ada air mata.
Tempat yang damai. Disamping Allah. Saya ingin berada di tempat itu sekarang.
Saya sehat. Tapi untuk apa saya sehat. Saya kuat. Tapi untuk apa?. Saya lebih senang tinggal disini. Disudut rumah sakit. Tempat saya merenung. Lebih dekat dengan Allah.
Apa kalian menyayangi saya? Jika ya, biarkan saya pergi. Relakan saya pergi. Bantu saya menuju tempat yang saya rindukan. Saya ingin bahagia. Tapi dunia ini terlalu sempit. Saya ingin pergi menuju tempat yang kekal. Tempat yang Allah ceritakan dalam mushaf ini. Saya ingin berada disana.” Ucap nina sambil memeluk erat mushaf berwarna merah jambu di sudut sebuah kamar rumah sakit. Tatapannya kosong. Matanya berkaca dan berlinang air mata. Nina memang tengah terluka. Disudut rumah sakit, tempat yang ia pilih kini. Tidak mau makan ataupun minum. Tatapannya selalu kosong. Dan sorot matanya penuh duka.
Bagaimana tidak. Untuk kesekian kalinya nina teluka. Orang yang nina menyimpan harapan padanya, kembali meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Ia bilang, Ia tak pernah menemukan sebuah keyakinan. Entah apa sebabnya. Nina yang lemah, hanya bisa diam dan menerima.
Logika dan hatinya terluka.
Jalan apa lagi yang harus nina tempuh. Kakinya kini mulai lelah. Langkahnya perlahan goyah.
***
Dari luar terdengar suara kaki yang tengah berlari. Sesekali terdengar suara orang yang memanggil-manggil namanya.  “nina....nina....” .
Tak lama kemudian pintu terbuka. Ibu nina masuk dengan wajah ceria sambil memegang lembaran koran ditangannya. Langsung Ia memeluk nina dengan air mata berlinang membasahi pipi tapi wajahnya tak menampakkan duka. Perlahan terdengar ibu nina mengucapkan “syukur hamdallah”.
Ternyata nina lolos tes CPNS di Kota Cilacap. Ibunya masih memeluk nina dengan erat. Tapi wajah nina tetap datar tanpa ekspresi.
“Bukankah ini yang nina harapkan? Apa nina tidak bahagia, sayang? Nina akan menjadi orang cilacap. Tinggal disana. Dimana tidak ada lagi luka dan kesedihan. Bukankah itu yang sering nina bilang? Sekarang nina akan tinggal disana. Nina akan tinggal disana. Nina akan bahagia disana. Nina?.....” Ibu nina terus berbicara pada nina yang masih saja tetap terdiam.
Mata nina kembali menitikan air mata. Kini nina membalas pelukan hangat ibunya. ”Iya mah....“ perlahan terdengar nina berbicara.
“Iya mah..... nina akan tinggal disana. Jauh dari sini. Jauh dari semuanya. Nina ingin disana saja mah. Disini terlalu banyak luka. Nina juga ingin bahagia. Nina harus bahagia kan mah...... Hidup ini terlalu berat mah..... hidup ini terlalu keras mendidik nina. Nina ingin kesana saja. Mah..... apa nina benar-benar akan bahagia disana? Apa disana tidak akan ada yang menyakiti nina? Mah.... nina takut.... mamah ikut nina kesana yah.... mamah jangan tinggalkan nina seperti mereka yang meninggalkan nina. Sekarang nina hanya memiliki mamah.... Mah.... nina anak baik kan? Mamah mau ikut nina kan? Kata mamah anak baik harus bahagia. Nina juga ingin bahagia mah.... mamah ikut nina yah.....” Pelukan nina semakin erat dan tangisannya semakin tidak tertahan.
Ibunya kembali memeluk nina erat. ”Iya nak..... mamah ikut nina. Mamah akan menjaga nina disana. Nina memang anak baik..... mamah akan menjaga nina. Nina harus bahagia. Anak baik harus bahagia. Disana tidak akan mamah biarkan satu orangpun menyakiti nina. Nina akan bahagia disana.... nina pasti bahagia. Kita akan bahagia disana. Nina percaya sama mamah kan....”
Siang itu nina teridur karena obat yang disuntikan dokter melalui selang infus dipergelangan tangan kanannya. Tangan nina masih memegang erat ibunya. Seolah ia tak ingin ditinggalkan. Akhirnya senyum kembali terlihat diwajah nina dalam lelap tidurnya. Ibunya mengusap tangan nina dengan lembut. “Sembuhlah sayang. Minggu ini juga kita berangkat ke Cilacap. Kita mulai hidup baru disana. Jauh dari ratif, dan orang-orang yang telah membuat kamu terluka sayang.....” ucap ibu nina.
***
Dua minggu sudah nina berada dicilacap. Keadaan nina kini sudah mulai membaik. Menjadi seorang PNS, bekerja disebuah SD terpencil di pinggiran kabupaten Cilacap. Itu memang mimpinya. Tinggal berdua dengan ibunya. Rumah sederhana kini menjadi tempat berlindung bagi nina. Sesuatu memang berubah. Nina tak lagi seceria dulu. Kini Ia lebih tertutup.
Nina yang ramah memang bisa beradaptasi dengan cepat dilingkungan barunya. Lingkungan baru, lokasi rumah berdekatan dengan pantai yang indah. Suasana yang benar-benar membuat nina nyaman dan damai. Tetangga baru dan siswa SD yang setiap hari ditemui nina perlahan membuat nina kembali ceria. Walaupun tidak seceria dulu.
Nina mulai melupakan masalalunya. Banyak hal berubah dari nina. Nina tampil lebih tertutup memang, tapi kini lebih dewasa dalam memandang arti kehidupan. Sejatinya hidup bukanlah tentang mimpi dan keinginan. Arti kehidupan yang sesungguhnya adalah tentang kenyataan dan penerimaan. Kenyataan yang Alloh takdirkan, dan bagaimana cara kita menyikapinya. Bahagia itu sederhana. Yang rumit adalah keinginan kita yang tak pernah ada habisnya.
Sebuah cerita memang tidak selalu berakhir dengan bahagia.
Bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar